Masalah Kependudukan Dunia Internasional (China)

Berdasarkan data dari http://www.prb.org/Publications/Datasheets/2016/2016-world-population-data-sheet.aspx dapat dilihat data pertumbuhan penduduk di dunia pada tahun 2016. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa saat ini China merupakan negara dengan populasi penduduk terbanyak yaitu sekitar ±1.378 Juta jiwa. Sebagai negara dengan populasi penduduk terbanyak di dunia, tentunya pasti terjadi masalah ketimpangan penduduk di negara tersebut.
Ketimpangan penduduk adalah suatau keadaan di suatu wilayah yang memiliki jumlah penduduk yang terlalu banyak sedangkan di tempat lainnya jumlah populasi penduduknya sedikit.
Peristiwa ini tentu saja akan ada dampak negatifnya, contohnya adalah ketika populasi di suatu tempat mengalami kelebihan jumlah penduduk maka akan menyebabkan beban kebutuhan hidup di tempat tersebut akan besar dan berpotensi menimbulkan masalah-masalah sosial ekonomi yang akan berdampak buruk pada keadaan di suatu wilayah. Tingkat pengangguran akan meningkat saat lapangan pekerjaan sangat terbatas karena tidak sebandingnya orang yang mencari pekerjaan dengan lapangan pekerjaan yang tersedia. Selain itu, potensi kriminalitas juga akan mungkin terjadi saat tidak ada lagi pilihan dan tingkat frustasi yang tinggi dialami oleh masyarakat. Hal ini tentu saja akan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan suatu wilayah itu.

Upaya China Mengatasi Laju Pertumbuhan Penduduk

Salah satu kebijakan yang populer sekaligus mengundang kontroversi dalam menekan angka kelahiran adalah kebijakan satu anak dalam satu keluarga (one-child policy). Disebut kontroversi karena menurut beberapa literatur, hanya China satu-satunya negara di dunia dimana pemerintah ikut mengatur secara detil mengenai masalah perkawinan, termasuk usia pernikahan, waktu kehamilan, metode pengendalian kehamilan, jarak antara kelahiran setiap bayi, serta jumlah kelahiran secara total.
Lebih jauh, kebijakan ini bersifat memaksa dan menimbulkan sanksi hukum apabila dilanggar. Walaupun demikian, banyak juga yang menyatakan bahwa kebijakan ini sangat efektif dalam menekan laju pertumbuhan penduduk (Banister and Harbaugh, China’s Family Planning Program: Inputs And Outcomes, 1994).
Kebijakan one-child policy ini diperkenalkan sejak akhir 1970’an dan berlangsung selama beberapa dasawarsa. Secara mendasar, aturan ini menyatakan bahwa satu keluarga hanya boleh memiliki satu anak laki-laki, atau maksimal dua anak apabila anak pertama yang dilahirkan berjenis kelamin perempuan. Selain itu pemerintah China juga menyerukan agar ada penundaan pernikahan untuk menjamin terwujudnya program ini.
Perlu digarisbawahi bahwa program one-child policy ini adalah program yang bersifat mengikat (mandatory), sehingga ada sanksi tegas bagi mereka yang melakukan pelanggaran terhadap kebijakan ini. Pada praktiknya, keluarga yang melakukan pelanggaran akan diberi sanksi dengan melakukan aborsi atau menggugurkan kandungan berdasarkan ketentuan yang telah diatur oleh negara. Kemudian untuk memastikan tidak terjadi kehamilan, maka perempuan yang telah memiliki satu anak laki-laki diharuskan menjalani sterilisasi.
Beberapa hal tersebut diatas adalah pokok-pokok yang menimbulkan kontroversi, terutama bagi pegiat hak asasi manusia, sebab kewajiban yang tertuang dalam kebijakan one-child policy dianggap bertentangan dengan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Selain itu pelaksanaan pengguguran kandungan juga disebut sebagai pembunuhan yang dilegalkan oleh negara.
Meskipun demikian, menurut survei yang dilakukan oleh lembaga pemerintah setempat, kebijakan one-child policy ini didukung oleh lebih dari 70% rakyat China, dan rakyat China sendiri mengaku mengalami perbaikan taraf hidup berkat kebijakan ini. Lebih jauh, pemerintah China mengklaim bahwa upaya ini telah berhasil mengurangi angka kelahiran hingga 400 juta selama pelaksanaannya.
Dalam perkembangannya, seiring dengan perubahan sistem politik dalam negeri, pemerintah China lantas menyesuaikan diri melalui kebijakan-kebijakan dengan pendekatan yang lebih manusiawi. Mereka mulai mengubah peraturan-peraturan yang semula memaksa menjadi peraturan yang lebih mengedepankan komunikasi dan menempatkan masyarakat sebagai partner dalam mencapai tujuan pembangunan nasional.
Oleh karena itu, pemerintah China melakukan pelonggaran terhadap program one-child policy. Salah satu caranya adalah dengan memberikan kesempatan kepada keluarga untuk memiliki dua anak dalam satu keluarga (two-child policy). Kebijakan ini juga sekaligus bertujuan untuk menyeimbangkan antara populasi yang ada pada saat itu, yakni antara kelompok populasi usia lanjut dengan populasi anak baru lahir. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga agar tidak terjadi penurunan populasi dalam jangka panjang.
Bertolak dari hal-hal tersebut diatas, maka pada era 1990’an diterapkanlah program keluarga berencana yang lebih berdasarkan pada kesukarelaan masyarakat (voluntary). Efek positif dari kebijakan baru ini adalah menimbulkan kesadaran setiap keluarga untuk berpartisipasi aktif dalam pembangunan sekaligus meningkatkan kesejahteraan keluarga.
Kesimpulan, kebijakan pemerintah China dalam mengendalikan jumlah penduduk terbukti mampu mengurangi laju populasi. Kebijakan ini juga turut memberikan andil pada kemajuan perekonomian China. Namun demikian, pendekatan yang manusiawi tanpa melanggar hak asasi manusia juga menjadi bagian penting dalam pembangunan itu sendiri, sehingga kebijakan yang diambil untuk mewujudkan pembangunan ekonomi jangka panjang tetaplah harus dalam koridor penghormatan kepada hak asasi manusia.

Rerefensi :
http://robiadprasetyo.blogspot.co.id/2014/05/ketimpangan-penduduk-di-wilayah-negara.html
http://www.prb.org/Publications/Datasheets/2016/2016-world-population-data-sheet.aspx
http://www.ajarekonomi.com/2016/02/upaya-china-mengatasi-laju-pertumbuhan.html

Comments

Popular Posts